Soal Pilah-Pilah Sampah

Soal memilah sampah, sebenarnya bukan hal baru bagi orang Indonesia. Tetapi kenapa pelaksanaannya susah sekali ya? Apakah salah kita yang enggan tertib, ataukah salah pemerintah setempat yang kembali menyatukan sampah yang sudah susah-susah kita pilah itu ke pembuangan akhir? Bisa jadi keduanya.

Di Oslo, saya dan teman saya homestay. Hal pertama yang terpikirkan oleh saya, sampahnya buang kemana, karena saya tidak menemukan tempat sampah di dapur. Ternyata oh ternyata, disembunyikan di laci dapur bagian terbawah.

Pilah sampah di laci dapur. Foto: Penulis

Kaleng dan botol minuman dipisahkan di dalam keranjang untuk memudahkannya dibawa kembali ke toko. Setiap pengembalian bisa ditukarkan dengan potongan harga saat berbelanja kembali di toko tersebut. Insentif yang tentunya akan mendorong konsumen untuk tidak melihatnya sebagai sampah, melainkan barang ekonomis yang bernilai uang. Kantong kedua yang berwarna hijau dikhususkan untuk sampah organik, sedangkan yang ungu khusus untuk sampah plastik. Kantong yang putih (tidak harus putih, bisa plastik bekas belanja apa saja) dipergunakan untuk sampah lainnya seperti kertas, tisu, dan karton.

Pilah sampah makanan di kantong hijau, plastik di ungu, dan sisa sampah di kantong sampah biasa atau tas belanjaan. Foto: Oslo kommune

Sampah yang sudah dipilah-pilah tersebut jika kantongnya sudah penuh, dapat dipindahkan ke tong sampah besar di depan rumah yang akan diangkut oleh petugas yang akan memisahkan kantong berbeda warna tersebut. Pemilahan tadi adalah sampah umum rumah tangga. Di Oslo, aturan untuk membuah sampah elektronik bahkan sisa membersihkan taman dan kebun pun diatur dengan rinci untuk memastikan sisa-sisa tersebut masih ada yang bisa didaur ulang. Plastik berwarna tersebut, tersedia di berbagai toko dan juga bisa dibeli secara daring.

Kondisi ini bertolak belakang dengan liputan Project Multatuli di Surabata yang menceritakan kondisi kebanyakan sampah yang tidak punya pilihan kecuali ditimbun di tempat pembuangan akhir karena tak layak didaur ulang. Sebagai warga negara, kita perlu terlibat untuk memperbaiki kondisi. Tapi kalau belum punya aturan yang jelas, tentu sulit. Artikel lainnya menceritakan profil para “pemulung modern” yang layak untuk kita teladani. Semoga kita bisa segera menuju perbaikan!

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.